Arti Pengesahan Dua Kovenan HAM bagi Penegakan Hukum
Oleh : Komisi Hukum Nasional, 09 Maret 2006
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) yang termuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557, dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang termuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558, memberikan harapan adanya keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat yang mendambakan penegakan hak-hak asasinya. Hak-hak asasi ini bukan lah pemberian Pemerintah. Ini hak kodrati dari Sang Pencipta kepada semua mahluk di muka bumi. Dalam kenyataannya tidak demikian karena sangat memprihatinkan dan mengecewakan.
Dengan adanya kedua undang-undang tersebut di atas, maka Indonesia telah melengkapi penerimaan atas Undang-undang Internasional Hak Asasi Manusia, yang telah dilakukan sebelumnya. Sebelumnya, penerimaan Indonesia atas Undang-undang Internasional Hak Asasi Manusia atau dalam dunia internasional dikenal dengan nama International Bills of Human Right, dilakukan terhadap Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Meskipun deklarasi tersebut merupakan instrumen non yuridis, namun semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations), termasuk Indonesia, wajib mengakui dan menerima pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam deklarasi tersebut. Dalam konteks Indonesia, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjadi pertimbangan dalam hal dibuatnya Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dengan demikian, dengan adanya Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, seharusnya tidak ada alasan lagi bagi Indonesia untuk tidak menegakkan HAM masyarakatnya. Hal ini karena secara sederhana saja, Indonesia sudah mempunyai peraturan maupun pengadilan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM. Sayang, kenyataannya tidak demikian.
Indonesia sebagai negara yang heterogen yang terdiri dari multi etnis, multi agama, dan multi kultur pada satu sisi menjadi kebanggaan tersendiri sebagai sebuah bangsa yang besar, akan tetapi jika tidak dikelola secara baik dengan menegakkan prinsip toleransi, saling menghormati dan saling menghargai, adanya perbedaan justru akan menjadi malapetaka bagi bangsa ini. Indonesia perlu mempunyai komitmen yang kuat untuk melaksanakan isi dari ketiga undang-undang tersebut di atas, terutama isi yang terdapat di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Komitmen yang kuat tersebut, tidak hanya berupa penegakan hukum, tetapi juga pembenahan hukum yang mendukung penegakan hukum atau penegakan kovenan-kovenan tersebut. Jika hanya dengan komitmen secara retorika akan sia-sia belaka. Inilah kenyataan yang sekarang terjadi.
Akhir-akhir ini terlihat terjadi tindak pidana kekerasan dari kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain, selain karena tidak ada toleransi dan saling menghormati, juga karena perbedaan pemahaman dan penafsiran terhadap ajaran agama, karena merasa diri paling benar dan berkuasa. Tindakan “main hakim” sendiri seperti itu sangat bertentangan dengan semangat yang tertuang dalam Pembukaan Konstitusi 1945 dan instrumen internasional yang telah diadopsi. Penegakan hukum dan pembenahan hukum yang mendukung penegakan hukum atau penegakan kovenan-kovenan tersebut, merupakan arti penting dari ratifikasi dua kovenan HAM tersebut. Pembenahan hukum juga diartikan sebagai menyesuaikan atau mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan yang telah mengatur mengenai HAM, mulai dari tingkat undang-undang hingga peraturan di bawah nya, dengan kovenan-kovenan tersebut. Sebagai contoh, mengharmonisasikan peraturan yang di dalamnya diatur atau bersinggunan dengan beberapa substansi penting yang diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, antara lain hak atas hidup/kehidupan, hak mendapatkan pengampunan, kebebasan pikiran, keyakinan dan agama, kebebasan menyampaikan pendapat, hak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara, hak untuk tidak boleh diingkari haknya terhadap minoritas etnis, agama atau bahasa. Dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya juga terdapat beberapa hal penting antara lain hak untuk menentukan nasib sendiri, kendatipun hal itu dikecualikan, kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam penikmatan hak-haknya dalam kovenan ini, hak atas pendidikan, perlu diresapi dan disadari secara bertanggung-jawab.
Harus diakui, masih ada kontroversi atau perbedaan pendapat yang cukup tajam atas suatu permasalahan berkaitan dengan kovenan-kovenan tersebut. Tentang hak atas hidup, misalnya, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP) yang diadakan pada tahun 1966, menyatakan bahwa hak atas hidup adalah hak yang mendasar dan tidak dapat dilanggar dalam keadaan apapun. KIHSP juga mengatakan, di negara-negara yang masih memakai hukuman mati, hukuman ini hanya boleh dipakai untuk kejahatan yang paling berat, dan pelaksanaannya hanya dapat dilakukan kalau ketentuan-ketentuan KIHSP dipenuhi, termasuk hak atas pengadilan di depan peradilan yang "kompeten." Pada sisi lain, ketentuan hukum pidana di Indonesia dalam hal ini KUHP (dan aturan lain) masih memberlakukan pidana mati. Perdebatan lain yang muncul seputar implementasi konvensi di atas adalah masalah penafsiran dan implementasi dari perlindungan terhadap menjalankan agama dan keyakinannya secara bebas tanpa ada ras takut, tentang hak untuk tidak ditangkap tanpa surat penangkapan dalam proses peradilan pidana, atau tentang perlindungan saksi yang belum optimal di Indonesia.
Kontroversi-kontroversi di atas merupakan bagian kecil dari perlindungan Hak asasi yang di jamian dalam tiga konvensi di atas. Kontroversi tersebut muncul dalam tataran kebijakan hukum (aturan perundang-undangan) maupun dalam implementasiannya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efiktifitas implementasi aturan perlindungan yang berkaitan dengan perlindungan dan promosi hak asasi manusia di Indonesia dibutuhkan langkah sinkronisasi perundangan-undangan.
Untuk hal tersebut, KHN melakukan diskusi untuk menelaah lebih jauh mengenai arti penting dari diratifikasi kovenan-kovenan tersebut, dan telah berwujud dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik).
Label: Studi Kasus
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda